Kamis, 24 Desember 2015

Tugas 2 : Ringkasan jurnal

PERANCANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA AKTIVITAS GREEN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (GSCM)
(Studi Kasus: KUD “BATU” )

KUD “BATU” merupakan salah satu sektor industri yang memiliki aktivitas supply chain dalam memproduksi susu pasteurisasi Nandhi Murni. Selama ini, KUD “BATU” belum pernah melakukan pengukuran kinerja supply chain management yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode yang dapat diterapkan dalam pengukuran kinerja supply chain management yang ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana pencapaian kinerja supply chain management KUD “BATU” yang ramah lingkungan. Metode yang digunakan untuk mengukur kinerja supply chain management yang ramah lingkungan adalah metode pendekatan green supply chain management (GSCM). Model pengukuran kinerja GSCM ini terdiri dari aktivitas green procurement, green manufacture, green distribution dan reverse logistic. Dari pengamatan didapatkan indikator pengukuran sejumlah 44 key performance indicator yang sudah valid. KPI ini diberikan bobot dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan software expert choice 11. Selanjutnya dilakukan perhitungan scoring system menggunakan Objective Matrix (OMAX) dan traffic light system. Dari pengukuran tersebut dapat diberikan rekomendasi perbaikan pada indikator kinerja yang memiliki kategori merah dalam traffic light system.

1. Pendahuluan
Perkembangan sektor industri yang melibatkan berbagai operasi bisnis dan aktivitas manufaktur dipandang sebagai suatu kegiatan yang telah banyak membawa dampak perubahan pada lingkungan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan terjadi di sepanjang siklus hidup suatu produk, bermula dari pengadaan raw material, proses produksi, penggunaan dan penggunaan kembali produk dan terakhir sampai tahap pembuangan (Zhu dan Sarkis, 2006). Sektor industri sebagai pelaku utama dalam permasalahan lingkungan hendaknya menyadari pentingnya penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dalam menjalankan proses produksinya guna meminimalkan waste dan mengurangi dampak negatif bagi lingkungan sekitar.
Supply Chain adalah jaringan seluruh organisasi mulai dari pemasok sampai ke pengguna akhir, yang didalamnya terdapat aliran dan transformasi material, informasi dan uang (Pujawan, 2005). Setiap aktivitas yang dilakukan oleh para pelaku rantai pasok tersebut, berpeluang untuk menciptakan polusi, waste, dan bahan-bahan berbahaya bagi lingkungan.
Penerapan SCM dalam beberapa tahun ini mengalami pergerakan karena lingkungan alam menjadi sebuah isu global dalam industri manufaktur. Isu tentang konsep industri manufaktur yang berwawasan lingkungan telah memaksa industri manufaktur melakukan penyesuaian dengan konsep green industries dalam setiap proses bisnisnya. Dalam perkembangannya dikenal sebagai konsep Green Supply Chain Management (GSCM).
GSCM merupakan konsep manajemen rantai pasok tradisonal yang terintegrasi dengan aspek lingkungan yang meliputi rancangan produk, pemilihan supplier, pengadaan material, aktivitas manufaktur, aktivitas pengemasan, aktivitas pengiriman produk ke konsumen, serta manajemen penggunan akhir produk (end-of-life product) (Sundarakani et al., 2010). GSCM bertujuan untuk mengeliminasi atau meminimasi waste (energi, gas emisi, bahan kimia berbahaya, limbah) di sepanjang jaringan rantai pasok. GSCM juga dapat didefinisikan sebagai greenprocurement (pengadaan ramah lingkungan), green manufacturing (manufaktur ramah lingkungan), green distribution (distribusi ramah lingkungan), dan reverse logistic (logistik terbalik) (Ninlawan et al., 2010).
Koperasi Unit Desa (KUD) “BATU” merupakan jenis koperasi yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi, dalam hal ini mengolah susu yang berasal dari sapi perah diolah menjadi suatu produk berupa susu yang siap minum. KUD “BATU” pada proses bisnisnya melibatkan berbagai aktivitas yang kompleks, mulai dari aktivitas pengadaan, aktivitas manufaktur, aktivitas distribusi, dan aktivitas reverse logistic. Namun ditinjau dari rantai pasoknya masih banyak aktivitas dari hulu ke hilir yang masih belum ramah lingkungan. Dari aktivitas pengadaan dimana dalam pengadaan bahan baku, pihak KUD “BATU” masih belum menerapkan sistem yang efektif dan efisien, sehingga pengadaan bahan baku tidak sesuai dengan pemakaianya. Aktivitas manufaktur dilihat dari belum adanya SOP tertulis yang diterapkan di dalam lantai produksi, seperti SOP proses pengolahan susu pasteurisasi dan SOP perawatan alat-alat produksi serta pengolahan limbah yang masih sangat sederhana yang hanya mencampurkan limbah susu dengan air biasa kemudian dibuang ke sungai. Aktivitas distribusi dilihat dari pengiriman produk menggunaakan alat transportasi tidak sesuai dengan kapasitas alat angkut, sehingga hal ini menyebabkan kurangnya efektifitas KUD “BATU” dalam proses distribusi produk yang akan merugikan KUD “BATU”. Selanjutnya dilihat dari aktivitas reverse logistic, KUD “BATU” masih belum melakukan penanganan ulang terhadap kemasan botol minuman yang beredar banyak di pasaran.
Selain dilihat dari sepanjang aktivitas rantai pasok, KUD “BATU” belum menerapkan pengukuran kinerja GSCM. Oleh karena itu aktivitas industri yang terjadi di KUD “BATU” secara langsung memberikan dampak terhadap lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan suatu perancangan dan pengukuran kinerja terhadap aktivitas rantai pasok di KUD “BATU” yang menerapakan pengukuran kinerja Green Supply Chain Management yang ramah lingkungan. KUD “BATU” dipilih dengan pertimbangan KUD “BATU” memiliki rantai pasok yang lengkap dari hulu sampai hilir. Selain itu, diantara IKM pangan yang ada, IKM KUD “BATU” dapat dikategorikan sebagai IKM yang stabil dan sudah melewati tahapan survive sehingga dapat melakukan peningkatan pada tahap pengembangan supply chain yang ramah lingkungan.
 
Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang ciri utamanya adalah memberikan penjelasan objektif, komparasi, dan evaluasi sebagai bahan pengambilan keputusan bagi yang berwenang.
Tujuan dari penelitian deskriptif adalah mencari penjelasan atas suatu fakta atau kejadian yang sedang terjadi, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berkembang, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang sedang berlangsung.

Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pada tahap pengumpulan dan pengolahan data, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian untuk menjaring informasi. Data ini akan menjadi input pada tahap pengolahan data. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, wawancara, kuesioner, dan dokumentasi perusahaan. Data yang dibutuhkan yaitu supply chain, persediaan bahan baku, proses produksi, training tenaga kerja, supplier bahan baku, pengiriman produk, distribusi, material reject, produksi harian atau bulanan, penggunaan listrik dan BBM.

Pengolahan Data
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan, kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan metode yang relevan dengan permasalahan yang ada. Berikut ini merupakan tahapan pengolahan data yang dilakukan.
1. Mengidentifikasikan Supply Chain Perusahaan
Identifikasi supply chain perusahaan dilakukan dengan mengamati sistem supply chain yang ada di KUD “BATU”.
2. Mengidentifikasi Stakeholder
Tahapan ini berpengaruh tehadap penentuan KPI yang dapat diterapkan didalam perusahaan. Penentuan stakeholder ini terkait dengan tahapan validasi KPI serta pembobotan setiap KPI dengan metode AHP.
3. Menentukan Key Performance Indikator (KPI) untuk model pengukuran kinerja Green Supply Chain Management (GSCM).
Dalam menentukan setiap KPI nantinya, peneliti akan merujuk terhadap penelitian terdahulu serta beberapa referensi jurnal yang berkaitan dengan GSCM. KPI yang telah ditentukan, nantinya akan digunakan dalam menentukan tingkat keberhasilan untuk mengukur kinerja perusahaan yang bersifat ramah lingkungan.
4. Validasi model pengukuran kinerja
Validasi dilakukan untuk memeriksa apakah model pengukuran yang telah dibuat dapat menyelesaikan permasalahan atau tidak. Validasi dilakukan terhadap model pengukuran yang telah diidentifikasi dan dikembangkan pada tahap sebelumnya. Validasi dilakukan dengan metode face validity, yaitu meminta pendapat ataupun opini dari expert atau narasumber stakeholder terkait, yang memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang indikator-indikator pada model pengukuran kinerja green supply chain management, sehingga model pengukuran benar dan dapat diterima di perusahaan.
5. Melakukan pembobotan terhadap indikator-indikator yang telah tervalidasi dengan metode AHP
Pembobotan dilakukan untuk masing-masing atribut dengan menggunakan metode AHP. Beberapa stakeholder terkait diminta untuk mengisi kuesioner untuk menentukan bobot prioritas masing-masing indikator yang berhubungan dengan aktivitas green supply chain management.
6. Melakukan pengukuran kinerja Green Supply Chain Management pada KUD “BATU”
Setiap indikator yang telah tervalidasi akan dilakukan pengukuran kinerja terhadap pencapaian perusahaan dari setiap indicator tersebut. Dimana hasil yang didapatkan dari pengukuran tersebut akan digunakan dalam perhitungan OMAX.
7. Scoring System dengan metode Obejctive Matrix (OMAX)
Nilai pencapaian kinerja masing-masing KPI didapat dari kondisi atau data real KUD “BATU” yang disesuaikan dengan masing-masing KPI. Hasil pencapaian KUD “BATU” terhadap target dari masing-masing KPI diperlukan dalam proses perhitungan Scoring System. Scoring system ini dilakukan dengan metode OMAX.
8. Evaluasi Kinerja Green Supply Chain perusahaan dengan Traffic Light System.
Dari Scoring System yang dilakukan dengan metode OMAX lalu dilakukan evaluasi terhadap hasil pencapaian KUD “BATU” apakah sudah mencapai target dari perusahaan dari masing-masing KPI. Dari Traffic Light System ini dapat diketahui apakah score dari KPI tersebut perlu diperbaiki atau tidak.

Hasil dan Pembahasan
 
Identifikasi KPI
Kuesioner awal yang berisikan 54 KPI diberikan pada pihak manajer KUD “BATU” yang dirasa paling mengetahui mengenai permasalahan dan kondisi KUD “BATU” untuk dilakukan validasi. Setelah dilakukan validasi didapatkan 44 KPI yang valid terdapat pada lampiran 1. Selanjutnya, dilakukan pembobotan dengan menggunakan software Expert Choice 11, perhitungan scoring system menggunakan Objective Matrix (OMAX), dan analisa Traffic Light System untuk menentukan apakah indikator kinerja masuk pada kategori hijau, kuning atau merah

Perhitungan Pembobotan

Pada level 1 dilakukan pembobotan pada empat perspektif Green Supply Chain Manajement (GSCM), yaitu green procurement, green manufacture, green distribution, dan reverse logistic.


Pembobotan Objektif
Pada level 2 dilakukan pembobotan pada masing-masing objektif dalam perspektif GSCM.
Pada level 3 dilakukan pembobotan pada masing-masing KPI
 
Scoring System
Perhitungan scoring system dilakukan menggunakan objective matrix. Hasil scoring system untuk perspektif green procurement didapatkan 3 KPI termasuk dalam kategori hijau dan 11 KPI berada dalam kategori merah dengan pencapaian kinerja perspektif green procurement sebesar 6,109. Pada perspektif greenmanufacture didapatkan 10 KPI berada dalam kategori hijau, 8 KPI berada dalam kategori kuning, dan 2 KPI berada dalam kategori merah dengan pencapaian kinerja perspektif green manufacture sebesar 5,69. Selanjutnya untuk perspektif green distribution didapatkan 2 KPI berada dalam kategori hijau, 3 KPI berada dalam kategori kuning, dan 2 KPI berada dalam kategori merah dengan pencapaian kinerja perspektif green distribution sebesar 6,542. Sedangkan untuk perspektif reverse logistics didapatkan 1 KPI berada dalam kategori hijau, 1 KPI berada dalam kategori kuning, dan 1 KPI berada dalam kategori merah dengan pencapaian kinerja perspektif reverse logistics sebesar 5,229.
 
Analisa Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan scoring system dengan menggunakan OMAX, dapat diketahui bahwa terdapat 16 KPI yang masuk dalam kategori hijau, 12 KPI yang masuk dalam kategori kuning, dan 16 KPI yang masuk dalam kategori merah. Untuk KPI yang belum mencapai target, yaitu KPI pada kategori merah dan kuning harus diberi perhatian untuk meningkatkan kinerja green supply chain management KUD BATU. Namun yang perlu segera mendapatkan prioritas perbaikan adalah KPI pada kategori merah karena nilai pencapaiannya sangat jauh di bawah target.
 
Rekomendasi Perbaikan
Setelah didapatkan hasil dari pengukuran pada scorimg system terdapat 16 KPI yang berada pada kategori merah. Hal ini menandakan bahwa KPI tersebut menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, KPI ini membutuhkan rekomendasi perbaikan agar adanya peningkatan kinerja terhadap KPI tersebut.
Rekomendasi perbaikan dari KPI yang berada pada kategori merah adalah sebagai berikut:
1. KPI Presentase penggunaan gula, flavor coklat, flavor strawberry, flavor melon, flavor vanili, bubuk coklat, pewarna melon, pewarna strawberry, kemasan 1 Liter, dan kemasan 180 cc yang terdapat pada objektif efisiensi penggunaan bahan baku. ( KPI P202 sampai dengan KPI P211)
Dalam melakukan pengadaan bahan baku KUD “BATU” masih menggunakan perkiraan dari kepala unit dalam melakukan pemesanan terhadap bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi.
Hal ini menyebabkan adanya penumpukan/stok bahan baku yang cukup besar dari tiap-tiap bahan baku yang ada. Produk Nandhi Murni merupakan produk yang permintaannya fluktuatif, yaitu permintaan akan meningkat ketika musim liburan datang dan akan menurun ketika berada pada hari biasa. Ketika pihak KUD “BATU” melakukan pengadaan bahan baku yang kurang memperhatikan kondisi permintaan produk, hal ini yang menyebabkan adanya stok yang cukup besar dari masing-masing bahan baku setiap bulannya.
Dengan adanya hal ini, maka rekomendasi perbaikan yang diberikan adalah:
a. KUD “BATU” dalam melakukan pengadaan hendaknya menerapkan suatu metode dalam merencanakan pembelian bahan baku. Metode ini dapat digunakan untuk meramalkan jumlah bahan baku yang akan dibeli untuk menghasilkan sejumlah produk. Produk Nandhi Murni merupakan produk musiman yang permintaannya selalu fluktuatif sehingga membutuhkan suatu perencanaan pengadaan bahan baku dengan suatu metode yang sesuai dengan permintaan produk tersebut. Beberapa metode yang dapat digunakan antara lain adalah:

1) Melakukan peramalan untuk mengetahui permintaan produk. Beberapa metode peramalan kuantitatif yang dapat diterapkan adalah metode Winter dan Dekomposisi yang karakteristik data permintaannya bersifat musiman (Gaspersz, 2002). Untuk melakukan peramalan dengan metode ini membutuhkan data historis yang sudah ada di KUD “BATU”. Selama ini, data historis yang ada di KUD tidak digunakan untuk melakukan suatu perencanaan produksi dari produk Nandhi Murni tersebut. Dengan adanya rekomendasi perbaikan ini diharapkan KUD “BATU” dapat mengelola persediaan bahan baku untuk produksi susu pasteurisasi.
Melakukan perencanaan Material Requirement Planning (MRP). MRP merupakan teknik untuk mengatur aliran bahan baku sehingga sesuai dengan Master Plan Schedule (MPS) untuk produk jadi. Untuk membuat MRP digunakan teknik lot sizing untuk menentukan ukuran lot pesanan dari masing-masing bahan baku sehingga didapatkan perencanaan bahan baku yang optimal.

2) Melakukan perencanaan Material Requirement Planning (MRP). MRP merupakan teknik untuk mengatur aliran bahan baku sehingga sesuai dengan Master Plan Schedule (MPS) untuk produk jadi. Untuk membuat MRP digunakan teknik lot sizing untuk menentukan ukuran lot pesanan dari masing-masing bahan baku sehingga didapatkan perencanaan bahan baku yang optimal.

3. KPI Ketersediaan SOP dalam proses produksi yang terdapat pada objektif pengelolaan lantai produksi (KPI M401)
Standar Operasional Prosedur (SOP) sangat penting bagi kelangsungan sebuah proses produksi. Di KUD “BATU” selama ini belum ada SOP tertulis dari setiap tahap pengolahan susu pasteurisasi. Sementara itu, untuk unit pengumpulan susu, KUD “BATU” telah memiliki SOP tertulis yang telah disepakati dan diverifikasi oleh pihak Nestle yang bekerjasama langsung dengan KUD “BATU”. SOP tertulis diperlukan di unit pengolahan susu dalam memberikan arahan dan pengawasan setiap karyawan agar bekerja sesuai standar. Oleh karena itu, rekomendasi perbaikan yang perlu diberikan adalah pembuatan SOP dari setiap proses pengolah susu. Proses tersebut antara lain adalah pencampuran bahan, pasteurisasi, pendinginan susu, pengemasan, dan penyimpanan.

4. KPI Ketepatan jumlah produk Nandhi Murni yang dikirimkan ke agen dengan total produksi yang terdapat pada objektif distribusi produk (KPI D202)
Jumlah produksi dari unit pengolahan susu pasteurisasi nantinya akan dikirimkan ke tiap-tiap agen yang ada di Batu. Dalam menentukan jumlah produk yang akan diproduksi pihak unit pengolahan susu menggunakan data permintaan dari masing-masing agen. Terkadang, agen tersebut tidak mau menerima seluruh jumlah pesanan yang telah diorder karena jumlah stok yang ada di agen masih cukup banyak. Hal ini yang menyebabkan tidak tepatnya jumlah produk yang diproduksi dengan jumlah yang dikirimkan ke masing-masing agen dan berdampak bagi unit pengolahan susu yang harus menanggung kelebihan produk yang diproduksi. Oleh karena itu diperlukan perbaikan untuk memperbaiki kekurangan KUD “BATU”. Adapun rekomendasi perbaikan yang diusulkan antara lain:
 
a. Komunikasi dan koordinasi antara agen dan unit pengolahan susu pasteurisasi dalam mengelola permintaan dan stok produk sehingga meminimalisir kerugian. Salah satu cara komunikasi dan koordinasi adalah melakukan peramalan permintaan secara bersama-sama antara agen dan unit pengolahan susu karena selama ini peramalan permintaan hanya dilakukan oleh agen-agen dan unit pengolahan susu hanya memproduksi
sejumlah produk yang diminta agen tersebut. Dengan adanya perencanaan permintaan yang dilakukan bersama-sama diharapkan dapat memberikan tanggung jawab terhadap susu hasil produksi antara kedua belah pihak. Disarankan untuk kepala unit pengolahan susu dan perwakilan masing-masing agen mengadakan rapat mingguan untuk merencanakan produksi selama seminggu ke depan. Hal ini dilakukan agar adanya sharing information mengenai jumlah permintaan dan stok yang terdapat di masing-masing agen. Dengan adanya rapat mingguan ini diharapkan dapat meminimalisir kelebihan produk (stok) yang cukup banyak di dalam gudang pabrik.
 
b. Pihak manajemen KUD “BATU” sebaiknya membuat kebijakan mengenai kesepakatan antara agen dan unit pengolahan susu terhadap produk susu pasteurisasi. Kebijakan tersebut berisi tentang hasil produksi yang telah dipesan oleh agen harus langsung dikirimkan dan diterima oleh agen sesuai dengan pesanan dari agen tersebut. Hal ini dilakukan karena produk susu Nandhi Murni adalah produk perishable yang mudah rusak sehingga jika disimpan terlalu lama dapat merugikan pihak KUD “BATU”. Selain itu, dengan adanya kebijakan yang tertulis dari manajemen KUD diharapkan dapat mengikat pihak agen dan unit pengolahan susu dalam melakukan produksi dan pemasaran produk Nandhi Murni.

5. KPI Efisiensi penggunaan storage dalam penyimpanan produk susu pasteurisasi Nandhi Murni yang terdapat pada objektif pemanfaatan storage (KPI D301)
Produk susu Nandhi Murni yang tidak langsung dikirim ke agen menjadi stok yang disimpan oleh unit pengolahan susu. Dalam melakukan penyimpanan stok ini, unit pengolahan susu memiliki storage yang berkapasitas 20800 produk. Jumlah produk Nandhi Murni yang disimpan di storage berjumlah kecil setiap harinya. Dalam KPI ini dihitung tingkat efisiensi penggunaan storage yang berarti perbandingan jumlah produk yang disimpan terhadap kapasitas penyimpanan. KPI ini menunjukkan tidak efisiennya penggunaan storage ditandai dengan nilai merah yang diperoleh KPI ini. Hal ini akan menyebabkan kerugian bagi pihak KUD karena di storage diperlukan energi untuk menyalakan freezer dan penerangan yang ada di storage tersebut.

6. KPI Pemanfaatan limbah cair yang dihasilkan yang terdapat pada objektif pemanfaatan limbah (KPI M601)
Limbah cair yang dihasilkan di unit pengolahan susu memiliki volume sebesar 8020 Liter. Limbah cair tersebut berasal dari serangkaian proses produksi pada boiler, pembersihan mesin-mesin produksi sebelum dan sesudah produksi, serta dari proses produksi susu pasteurisasi sendiri. Limbah yang ada di lantai produksi dialirkan langsung ke bak penampungan limbah yang ada di pabrik. Bak penampungan tersebut dialiri air sungai agar limbah tersebut dapat ternetralisir dan tidak dimanfaatkan sama sekali yang langsung dibuang ke lingkungan sekitar (sungai) oleh pihak KUD “BATU”. Hal inilah yang menyebabkan KPI ini mendapatkan nilai merah dan menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, diperlukan rekomendasi perbaikan untuk KPI ini. Rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan antara lain adalah:
a. Limbah cair yang sudah dinetralisir sebaiknya dimanfaatkan dalam pembuatan bisnis lainnya seperti peternakan ikan.
b. Komarawidjaja (2010) menyatakan bahwa pemanfaatan limbah cair dapat juga digunakan sebagai media pengembangbiakan mikroalga. Mikroalga ini berfungsi untuk mereduksi CO2. Limbah organik yang dihasilkan oleh industri-industri pangan salah satunya adalah industri pengolahan susu.

7. KPI Pemanfaatan produk Nandhi Murni (susu) yang dikembalikan yang terdapat pada objektif pengelolaan tingkat redistribusi (KPI R103)
Pengembalian produk Nandhi Murni dari agen ke unit pengolahan susu biasanya disebabkan oleh kemasan yang cacat. Produk yang cacat ini disebabkan oleh kurangnya inspeksi yang dilakukan oleh pihak unit pengolahan susu dan kurangnya penanganan produk yang ada di storage. Selain itu, penyusunan produk dan material handling yang salah dapat menyebabkan cacatnya produk ini. Manajemen KUD “BATU” juga memaklumi pengembalian produk yang dilakukan para agen dikarenakan kemasan yang rusak. Di pihak unit pengolahan susu sendiri merasa terbebani dengan adanya kebijakan pengembalian tersebut karena unit pengolahan susu tidak mempunyai strategi khusus untuk produk yang dikembalikan. Oleh karena itu, unit pengolahan susu sebaiknya mempunyai strategi perbaikan dan pencegahan dalam penanganan pengembalian produk. Rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan antara lain adalah:
a. KUD “BATU” sebaiknya melakukan pemanfaatan susu yang dikembalikan untuk produksi bioethanol. Parametha dan Legowo (2011) membuktikan bahwa susu kadaluarsa dan susu rusak merupakan salah satu bahan baku yang dapat dijadikan bioethanol. Salah satu alternatif bahan berkarbohidrat lain yang cukup potensial sebagai bahan baku pembuatan bioethanol adalah susu rusak. Susu rusak meliputi susu yang tidak memenuhi standar kualitas sehingga ditolak oleh koperasi, susu kadaluarsa dan susu basi yang sudah tidak bisa dikonsumsi lagi. Dengan adanya referensi dalam pemanfaaatan susu yang dikembalikan ke KUD “BATU” diharapkan pihak KUD tidak lagi membuang langsung susu yang dikembalikan tetapi dapat memanfaatkannya dengan membuat bioethanol.
Rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan untuk mencegah adanya pengembalian produk dari agen adalah dengan melakukan tingkat pemeliharaan kualitas produk. Tingkat pemeliharaan kualitas produk yang dilakukan antara lain adalah pemerikasaan kondisi produk setelah produksi dan juga saat produk akan dikirimkan ke agen. Prosedur pemeliharaan kualitas produk dilakukan agar tidak ada produk yang cacat saat sampai di agen. Selama ini, pemeliharaan kualitas yang dilakukan di unit pengolahan susu hanya dilakukan saat melakukan filling susu. Pemeliharaan kualitas juga sebaiknya dilakukan saat produk diletakkan di storage sehingga kemasannya tetap terjaga.

Kesimpulan

Dari hasil pengolahan dan analisis hasil yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu sebagai berikut :
1. Rancangan sistem pengukuran kinerja GSCM KUD “BATU” terdiri dari 4 perspektif yaitu green procurement, green manufacture, green distribution dan reverse logistic. Dari setiap perspektif terdiri dari beberapa objektif yang memiliki beberapa indicator kinerja. Dari hasil pengukuran kinerja green supply chain management (GSCM) yang berdasarkan 4 perspektif GSCM diperoleh 44 Key Performance Indikator (KPI) yang valid, dimana KPI tersebut terdiri dari 14 KPI dari perspektif green procurement, 20 KPI dari perspektif green manufacture, 7 KPI dari perspektif green distribution dan 3 KPI dari perspektif reverse logistic. Keseluruhan dari KPI tersebut digunakan untuk mengukur kinerja green supply chain management di KUD “BATU”.
2. Dari perhitungan OMAX dan traffic light system di dapatkan bahwa 16 KPI masuk dalam kategori hijau, 12 KPI masuk dalam kategori kuning dan 16 KPI masuk dalam kategori merah. Selain itu di dapatkan bahwa nilai pencapaian terbaik adalah dari perspektif green distribution dengan nilai pencapaian sebesar 6.45281, diikuti oleh perspektif green procurement dengan nilai pencapaian sebesar 6.109, kemudian perspektif green manufacture dengan nilai pencapaian sebesar 5.69, dan yang paling buruk perspektif reverse logistic dengan nilai pencapaian sebesar 5.2292. Selain itu juga, di dapatkan bahwa nilai kinerja GSCM KUD “BATU” sebesar 5.8713. Hasil perhitungan tersebut menunjukan bahwa kinerja masih berada pada kategori kuning yang berarti kinerja GSCM KUD “BATU” secara keseluruhan dapat dikatakan masih belum mencapai target baik. Sehingga KUD BATU harus berhati-hati agar kinerja GSCM tidak menurun dan perlu diberikan perhatian dan pengawasan yang lebih agar kinerja GSCM dapat ditingkatkan.
3. Rekomendasi perbaikan diberikan untuk 16 indikator kinerja yang pencapaiannya jauh dibawah target yang diharapkan. Adapun rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan antara lain :
a. Menerapkan metode dalam merencanakan pembelian bahan baku seperti melakukan
peramalan untuk mengetahui permintaan produk dan melakukan perencanaan MRP (material requirement planning) serta melakukan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman karyawan mengenai teknik-teknik untuk melakukan perencanaan bahan baku yang tepat dengan melakukan pelatihan.
b. Memanfaatkan susu yang tidak sesuai dengan ketentuan SNI untuk memproduksi bioethanol serta melakukan pelatihan secara berkala terhadap peternak dan pengawasan dari pihak KUD dalam pemerahan dan pengumpulan susu sehingga dapat meminimalisir jumlah susu yang rusak.
c. Pembuatan SOP (standar operasional prosedur) dari setiap proses pengolahan susu pasteurisasi.
d. Melakukan komunikasi dan koordinasi antara agen dan unit pengolahan susu dalam mengelola pemintaan dan stok produk sehingga meminimalisir kerugian, salah satu caranya adalah dengan melakukan peramalan secara bersama-sama dan membuat kebijakan mengenai kesepakatan antara agen dan unit pengolahan susu terhadap produk susu pateurisasi.
e. Membagi gudang produk yang ada saat ini menjadi gudang produk dan gudang bahan baku sehingga kemasan yang biasanya berada di pintu masuk pabrik memiliki tempat penyimpanan sendiri dan beberapa bahan baku lainnya.
f. Memanfaatkan limbah cair yang sudah dinetralisir untuk pengembangbiakan ikan dan sebagai media pengembangbiakan mikroalga. Mikroalga berfungsi untuk mereduksi CO2.
g. Melakukan pemanfaatan susu yang dikembalikan untuk produksi bioethanol dan melakukan 
pemeriksaan terhdap produk baik setelah produksi maupun saat produk akan dikirimkan.

Daftar Pustaka
Gaspersz, V. (2002). Production Planning and Inventory Control. PT. Gramedia Pustaka Umum : Jakarta
Komarawidjaja, Wage. (2010). Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Organik Sebagai Substitusi Media Kultur Mikroalga Dalam Upaya Mereduksi CO2. Program Insentif DIKTI
Ninlawan, C., Seksan, P., Tosappol, K. dan Pilada, W. (2010). The Implementation of Green Supply Chain Management Practices in Electronics Industry. Proseedings of the International Multi Conference of Engineers and Computer Scientists, Hongkong
Sundarakani, B., Souza R. dan Goh, M. (2010). Modelling Carbon Footprints Across The Supply Chain. Internasional Journal Production Economics. 128, 43-50.
Tersine. Richard J. (1994). Principles of Inventory and Materials Management Fourth Edition. New Jersey : PTR Prentice
Zhu, Q., Sarkis, J. dan Lai, K. (2005). Green Supply chain Management Implications for “Closing the Loop”. Transportation Research Part E. 44(1), 1-18.

Rabu, 23 Desember 2015

tugas 1 artikel ilmiah : ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN BATU KAPUR & PEMBUATAN BRIKET BIOARANG DARI LIMBAH ABU KETEL

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN BATU KAPUR TERHADAP LINGKUNGAN DI KECAMATAN NUSA PENIDA &
PEMBUATAN BRIKET BIOARANG DARI LIMBAH ABU KETEL,
JARAK DAN GLISERIN


Oleh
Samsudi Raharjo1 &
Ida Bagus Made Astawa, Sutarjo *)
tahun terbit : 2013
Jurusan Pendidikan Geografi, Undiksha Singaraja


ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Nusa Penida dengan tujuan untuk: (1) mendeskripsikan karakteristik kegiatan penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida, (2) mengetahui dampak penambangan batu kapur terhadap lingkungan abiotik yang ditimbulkan di Kecamatan Nusa Penida, (3) mengetahui upaya yang telah dilakukan masyarakat dalam usaha perbaikan dampak penambngan batu kapur di Kecamtan Nusa Penida. Berkenaan dengan itu penelitian dirancang sebaga penelitian deskriptif, dengan sampel sejumlah 54 orang (40%) dari populasi yang berjumlah 108 orang yang diambil secara proportional random sampling. Data dikumpulkan melalui observasi dan kuesioner yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptitif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) karakteristik kegiatan penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida secara umum tergolong belum intensif dilakukan dilihat dari intensitas penambangan, perlengkapan alat yang digunakan, kepemilikan lokasi penggalian 72,2% milik sendiri, alat angkut yang digunakan 68,5% berupa pickup, nilai ekonomis dan pemasaran tergolong masih sangat rendah, (2) dampak penambangan batu kapur terhadap lingkungan abiotik yang ditimbulkan di Kecamatan Nusa Penida tergolong masih rendah dilihat dari kedalaman dan luas penggalian rata-rata hanya 4 m, (3) upaya yang telah dilakukan masyarakat dalam usaha perbaikan dampak penambngan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida terhadap kondisi morfologi 70,4% terkadang melakukan reklamasi.
Dan Kenaikan harga bahan bakar minyak membawa dampak naiknya harga
sembako dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Hal ini akan berdampak
pada beban hidup masyarakat yang semakin berat apabila tidak diimbangi
dengan peningkatan pendapatan. Sebagai konsekuensinya, suka tak suka,
subsidi BBM akan terus dikurangi dan secara langsung harga BBM makin
mahal di masa datang. Maka seiring dengan itu, kini persoalan yang amat
mendesak adalah pengadaan diversifikasi energi guna mengurangi
ketergantungan pada BBM yang berbahan baku fosil ini. Maka penelitian ini
diharap sebagai solusi sebagai pengganti BBM, Dapat mengetahui seberapa
besar nilai kalor yang terkandung di dalam briket sisa pembakaran dari hasil
penelitian, dengan metodologi eksperimen dapat menentukan klasifikasi
briket sisa pembakaran: nilai kalor rata-rata variasi 50% SBB - 50% LJ
dihasilkan 3383 kkal/kg. Pada variasi 60% SBB – 40% dihasilkan nilai kalor
rata-rata 2971 kkal/kg, variasi 70% SBB – 30% LJ dihasilkan nilai kalor
rata-rata 2858 kkal/kg, variasi 80 % SBB – 20% LJ dihasilkan 2728 kkal/kg
dan variasi 90% SBB – 10% LJ dihasilkan nilai kalor rata-rata 2651.
kkal/kg.

Kata-kata kunci: Karakteristik Kegiatan Penambangan, Dampak Lingkungan, Upaya Perbaikan Briket Bioarang, Abu Ketel, Jarak, Gliserin

PENDAHULUAN

Pemerintah sejak sepuluh tahun lalu menaikkan tarif listrik dan telepon, juga
mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan yang tak populer ini telah
menuai beragam protes keras dari masyarakat dan industri. Pasalnya, kenaikan harga
BBM membawa dampak naiknya harga sembako dan berbagai kebutuhan hidup lainnya.
Implikasinya, masyarakat kebanyakan akan makin miskin dan beban hidup yang dipikul
akan makin berat jika tak diikuti peningkatan pendapatan. Di sisi lain, jika subsidi BBM
tidak dikurangi maka hal ini menjadi beban yang amat berat bagi negara, apalagi dengan
perekonomian yang belum pulih saat ini. Konsekuensinya, suka tak suka, subsidi BBM
akan terus dikurangi dan secara langsung harga BBM makin mahal di masa datang.
Maka seiring dengan itu, kini persoalan yang amat mendesak adalah pengadaan
diversifikasi energi guna mengurangi ketergantungan pada BBM yang berbahan baku
fosil ini.
Cadangan minyak di perut bumi makin terbatas dan menyusut karena
penggunaannya yang terus meningkat dan bahan bakar fosil ini tergolong bahan bakar
yang tidak terbarukan (unrenewable). Keterbatasan ini seharusnya mendorong
pemerintah untuk mencari energi alternatif dan terbarukan (renewable) yang berasal dari
tanaman dan biasa disebut biomassa.

Sumberdaya alam dan energi dimanfaatkan demi pembangunan ekonomi bersama dengan sumberdaya manusia, sumberdaya modal, dan sumberdaya teknologi. Sumberdaya alam dan energi dibedakan kedalam sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam air, sumberdaya alam energi dan sumberdaya alam non hayati. Sumberdaya alam dan energi itu ada yang bisa diperbaharui dan ada pula yang tidak bisa diperbaharui. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui berupa sumberdaya hayati dan hewani sedangkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui berupa sumberdaya non hayati seperti barang-barang tambang.
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Manusia bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Menurut UU No 32 tahun 2009, pasal 1 menyebutkan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memepengaruhi alam itu sendiri baik kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Manusia dengan akal budinya mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi kondisi lingkungan hidupnya dan sebaliknya lingkungan hidup akan memepengaruhi manusia (Suparni, 1994).
Batu kapur merupakan salah satu jenis bahan galian golongan C yang banyak digunakan dalam proses industri maupun bangunan. Penambangan batu kapur dilakukan di daerah yang memiliki lahan kapur yang merupakan daerah kering. Dibidang pertambangan, pada masa yang lalu pengawasan terutama tertuju pada keselamatan kerja para pekerja tambang dan masyarakat luar pada daerah kegiatan tambang. Kini selain itu masalah lingkungan hidup mulai mendapat perhatian khusus. Semua itu
mempengaruhi masyarakat pedesaan di sekitar proyek pertambangan yang biasanya berlokasi di daerah terpencil (Katili,1983:134).
Pemanfaatan batu kapur yang masih aktif hingga saat ini di Kecamatan Nusa Penida terutama terdapat di Desa Suana, Kutampi dan Bunga Mekar. Pemanfaatan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida sampai saat ini masih berjalan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar untuk dijadikan bahan bangunan seperti batako dan melapisi dinding. Pemanfaatan batu kapur yang dilakukan beberapa desa di Kecamatan Nusa Penida Nusa Penida bukan merupakan kegiatan yang baru, kegiatannya dimulai pada tahun 1970an. Sebelum terjun sebagai penambang batu kapur, mata pencaharian masyarakat sebagian besar adalah bertani. Berdasarkan observasi awal kegiatan penambangan ini melibatkan penduduk-penduduk lokal, walaupun kegiatannya tergolong kegiatan yang lama, lahan yang digali pun sudah mencapai puluhan are dengan kedalaman bervariasi antara 3 - 5 meter atau lebih, itu dilihat pada saat melakukan surve awal pada daerah penelitian.
Dengan adanya pemanfaatan batu kapur ini, akan mengurangi pemanfaatan pasir sehingga tidak terjadi abrasi lebih lanjut, dan dengan adanya penambangan batu kapur, keadaan ekonomi penduduk lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum ada penambangan. Perlu disadari bahwa kegiatan penambangan batu kapur banyak terdapat dampak positif. Dampak positif ini belum diketahui dari pihak luar dari Kecamatan Nusa Penida, dan kegiatan tersebut belum diketahui secara tuntas. Pemahaman tentang fungsi ekologis dari bukit kapur sangat dibutuhkan, sehingga dapat dipastikan bahwa di masa mendatang kawasan kapur ini akan ada pengolahan batu kapur lebih lanjut guna untuk pemanfaatan sumberdaya lingkungan.
Selain menimbulkan dampak positif perlu disadari bahwa kegiatan penambangan batu kapur juga banyak menimbulkan dampak negatif utamanya menyangkut kelestarian lingkungan. Dampak negatif yang umum terjadi akibat penambangan batu kapur diantaranya terbentuknya lereng-lereng terjal yang sangat membahayakan para penambang, polusi udara, banyak lahan terbuka, tanah yang berdebu dan berpasir, galian material yang terserak dimana-mana, lubang-lubang yang menganga, hiruk pikuk buruh tambang, udara kotor akibat prosesing serta jalan-jalan yang dilintasi para pengangkut tambang jadi cepat rusak akibat kelebihan beban (www.balipost.co.id, 2009). Dampak negatif akibat kegiatan tersebut belum diketahui
secara tuntas, dan sebelum resiko terhadap lingkungan memburuk dan berkelanjutan maka diperlukan beberapa alternatif untuk pemecahannya. Pemahaman tentang fungsi ekologis dari bukit kapur sangat dibutuhkan, sehingga dapat dipastikan bahwa di masa mendatang kawasan kapur tidak terancam. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “ Analisis Dampak Penambangan Batu Kapur terhadap Lingkungan di Kecamatan Nusa Penida”.

METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian merupakan landasan yang menjadi acuan dalam menyusun kerangka umum cara melaksanakan penelitian. Dalam penelitian ini, rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif, untuk mendeskripsikan permasalahan yang ada dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah aktivitas penambangan batu kapur di 3 desa di Kecamatan Nusa Penida yaitu : Desa Suana, Desa Kutampi dan Bunga Mekar, yang hingga sampai pada analisis terhadap dampak yang ditimbulkan. Subjek penelitian adalah para penambang batu kapur, dan daerah penambangan yang terdapat pada 3 daerah, yaitu Desa Suana, Kutampi dan Bunga mekar di Kecamatan Nusa Penida yang selanjutnya dijadikan populasi.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Jumlah populasi dalam penambangan batu kapur yaitu 108, kemudian akan diambil 40% dari jumlah populasi dan dalam menentukan besarnya sampel secara, “proportional random sampling” (Arikunto, 1986:78). Penelitian ini menggunakan rancangan analisis deskriptif yaitu pengumpulan data untuk memberikan penegasan pada suatu konsep yang telah dikemukakan. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama secara langsung dari responden (objek penelitian), sedangkan data sekunder dikumpulkan dari orang kedua atau didapatkan dari kantor yang bersangkutan.

Dalam seminar sehari Hadi S (2005) seorang ahli enzym pertanian
mengatakan bahwa sisa pembakaran pabrik gula masih mengandung karbon aktif yang
dapat dimanfaatkan untuk membuat pupuk pertanian. Berdasarkan hal tersebut peneliti
mempunyai hipotesis yaitu kalau sisa pembakaran masih mengandung karbon aktif,
maka masih dapat dibakar dan menghasilkan panas, hanya saja perlu pembuktian untuk
mengetahui seberapa besar nilai kalor yang terkandung di dalam sisa pembakaran
tersebut.
Dengan demikian perlu adanya penelitian untuk dapat mengetahui seberapa besar
nilai kalor yang terkandung di dalam briket sisa pembakaran, sehingga pada akhirnya
nanti dapat menentukan klasifikasi briket sisa pembakaran, apakah layak menjadi energi
alternatif untuk mengantikan bahan bakar minyak.

1) Energi
Menurut Pudjanarsa dan Nursuhud, energi adalah sesuatu yang bersifat abstrak
yang sukar dibuktikan tetapi dapat dirasakan adanya. Energi adalah kemampuan untuk
melakukan kerja (energy is the capacity for doing work). Menurut Hukum
Thermodinamika Pertama, energi bersifat kekal. Energi tidak dapat diciptakan dan tidak
dapat dimusnahkan, tetapi dapat dikonversikan dari bentuk energi yang satu ke bentuk
energi yang lain.

2) Pemakaian Sumber Energi
Sampai dengan tahun 1980an, konsumsi energi di dunia meningkat tajam dari
tahun ke tahun, apalagi di negara maju seperti amaerika serikat. Sekitar akhir tahun
1940an sampai 1950an konsumsi energi meningkat 2,9 persen sebelumnya. Pada tahun
1960 an dan awal tahun 1970 an, rata-rata pertumbuhan masih sangat tinggi yaitu 4,5
persen per tahun. Sedangkan pada tahun 1990 an dan awal tahun 2000 an, konsumsi
energi terus meningkat lebih tinggi dari tahun1980 an, sehingga menurut Hinrchs, 2006,
tercata antara tahun1983 dan 2012 konsumsi energi telah meningkat 37 persen. Dewasa
ini penggunakan batubara 26 persen, minyak bumi 39 persen, natural gas 24 persen dan
nuklir 7 persen sedangkan untuk pemakaian renewable energy hanya 3 persen.

3) Energi Biomassa
Biomassa merupakan produk fotosintesis dari butir-butir hijau yang bereaksi
dengan sinar matahari. Butir-butir hijau menyerap energi matahari dan mengkonsumsi
karbondioksida dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (Abdul
Kadir:1995). Senyawa ini dapat dipandang sebagai suatu penyerapan energi yang dapat
dikonversi menjadi suatu produk lain. Hasil konversi dari senyawa itu dapat berbentuk
arang atau karbon, alkohol kayu, ter dan lain sebagainya. Sebagaimana diketahui
biomassa, terutama dalam bentuk kayu bakar dan limbah pertanian, merupakan sumber
daya energi dunia yang tertua. Di negara-negara yang telah maju dengan berkembangnya
industri, peranan biomassa sebagai sumber energi makin berkurang diganti dengan
energi komersial, mula-mula batubara, kemudian minyak bumi. Lain halnya dengan
negara-negara berkembang. Sekalipun banyak negara berkembang yang bergerak menuju
ke arah industrialisasi, secara umum dapat dikatakan bahwa di negara-negara tersebut
biomassa masih merupakan komponen yang besar dalam pola pemakaian energi. Tabel 1
memberikan beberapa angka perkiraan mengenai pemakaian energi di beberapa negara.
Bioarang adalah arang yang diperoleh dengan membakar tanpa udara (pirolisa),
biomassa kering dalam suatu bejana bermulut sempit. Bahan baku bioarang terdiri atas :
Dedaunan (aneka jenis daun, tumbuhan apa saja), Rerantingan (ranting dari tumbuhan
apa saja dapat digunakan sebagai bahan pembuat arang), Gulma (semua jenis gulma
dapat dipergunakan sebagai bahan baku bioarang), Abu ketel sisa pembakaran bahan
bakar boiler di pabrik gula juga termasuk salah satu bioarang. Karena abu ketel tersebut
dihasilkan dari hasil pertanian yaitu ampas tebu yang dibakar dalam ruang pembakaran
boiler. Selain itu, ada juga beberapa jenis bioarang halus baik dari sumber bahan baku
seperti disebutkan diatas maupun dari kotoran ternak, misalnya : sekam padi, serbuk
gergaji kayu, kotoran sapi, kotoran kerbau dan lain-lain.

4) Bahan Bakar
Bahan bakar adalah bahan-bahan yang berdasarkan pertimbangan teknis
ekonomis dapat segera dibakar untuk menghasilkan panas dalam mesin-mesin kalor,
industri-industri panas. Bahan bakar sangatlah penting untuk melakukan mobilitas dan
juga untuk menjalankan proses produksi pada industri. Bahan bakar dapat dibedakan
menjadi 3 golongan menurut wujudnya, yaitu : bahan bakar padat, cair, dan gas.

Berdasarkan terjadinya bahan bakar dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu bahan
bakar alami dan bahan bakar buatan.

5) Bahan Bakar Boiler Pada Pabrik Gula
Pabrik gula membutuhkan bahan bakar untuk menjalankan proses produksinya.
Pada pabrik gula (khususnya PG. Trangkil), menggunakan dua macam bahan bakar,
yaitu bahan bakar cair dan bahan bakar padat. Bahan bakar cair yang digunakan adalah
residu. Minyak residu adalah hasil pengolahan minyak bumi dengan kualitas di bawah
solar dan di atas aspal.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Abu ketel sisa
pembakaran, Air, Limbah jarak pagar, Giserin, Gas oksigen.

Tahapan Penelitian
Melakukan pemilihan terhadap sisa pembakaran bahan bakar pada boiler
pabrik gula. Sisa pembakaran bahan bakar ini dibersihkan dari campuran-campuran
material lainnya misalnya ampas tebu yang tercampur dengan abu sisa pembakaran
boiler.

1) Pembuatan Briket Bioarang dengan Perekat Lempung
1. Bahan yang pertama berupa sisa pembakaran dicampurkan limbah jarak dengan
komposisi 90 % abu sisa pembakaran pada boiler + 10 % tanah lempung
ditambahkan air secukupnya agar memudahkan dalam pencampuran. Berat 900
gram dan komposisi limbah jarak 100 gram.
2. Mencetak bahan yang telah tercampur menjadi briket dengan menggunakan cetak
hydraulic press dengan bertekanan 5 KN.
3. Briket sisa pembakaran dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 3 jam.
4. Mengulangi langkah pertama sampai langkah ke-tiga dengan menggunakan
variabel komposisi 80% abu sisa pembakaran pada boiler + 20 % limbah jarak,
70 % abu sisa pembakaran pada boiler + 30 % limbah jarak, 60 % abu sisa
pembakaran pada boiler + 40 % limbah jarak dan 50 % abu sisa pembakaran pada
boiler + 50 % limbah jarak.

2) Pembuatan Briket Bioarang dengan Gliserin
1. Bahan yang pertama berupa sisa pembakaran dicampurkan gliserin dengan
komposisi 90 % abu sisa pembakaran pada boiler + 10 % gliserin, Berat total abu
ketel + gliserin adalah1 kg. Sehingga komposisi abu adalah 900 gram dan
komposisi gliserin 100 gram.
2. Mencetak bahan yang telah tercampur menjadi briket dengan menggunakan cetak
hydraulic press dengan bertekanan 5 KN.
3. Briket sisa pembakaran dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 3 jam.
4. Mengulangi langkah pertama sampai langkah ke-tiga dengan menggunakan
variabel komposisi 80% abu sisa pembakaran pada boiler + 20 % gliserin, 70 %
abu sisa pembakaran pada boiler + 30 % gliserin, 60 % abu sisa pembakaran pada
boiler + 40 % gliserin dan 50 % abu sisa pembakaran pada boiler + 50 % gliserin.
5. Pengepressan menggunakan alat press hidrolik dari Laboratorium Fisika FT
UNIMUS. Tiap sampel yang sudah jadi nantinya akan diuji nilai kalornya, Dan
dari hasil pengujian tersebut, didapatkan komposisi percampuran mana yang
memiliki nilai kalor yang paling tinggi.

3) Tahap Pengujian
Pengujian nilai kalor briket bioarang dari sisa pembakaran bahan bakar pada
pabrik gula yang berupa partikel-partikel debu ini dilakukan dengan menggunakan Bomb
Kalorimeter, dihitung berdasarkan jumlah kaloryang dilepas sama dengan jumlah kalor
yang diserap. Pengujian ini dilakukan di Laboratorium Peternakan, UNDIP Semarang

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Nusa Penida adalah salah satu kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Klungkung yang secara astronomis terletak antara 08°49’00”LS- 08°42’00”LS dan
115˚27’30’’BT - 115°38’00’’BT. Hasil penelitian yang dilakukan pada delapan (8) titik penambangan di 3 desa yaitu Desa Suana, Desa Kutampi, Desa Bunga Mekar dapat dideskripsikan kegiatan penambangan batu kapur dilakukan hampir setiap hari mulai dari pagi sekitar pukul 09.00 sampai sore hari sekitar pukul 15.00, kegiatan penambangan tidak hanya dilakukan pada musim kemarau, tetapi pada musim hujanpun kegiatan penambangan tetap berlangsung. Sebagian besar (51,8%) penambang melakukan penambangan setiap hari. Hal tersebut dijumpai hampir di semua titik penambangan, kecuali pada titik 4 dan 6 di Desa Kutampi serta di titik 7 di Desa Bunga Mekar. Intensitas penambangan yang terendah dijumpai pada titik 7 di Desa Bunga mekar. Pada titik 7 di Desa Bunga Mekar ini intensitas penambangannya justru kurang dari 5 kali dalam seminggu.
Berdasarkan apa yang dikemukan menunjukan bahwa intensitas penambangan secara umum di Kecamatan Nusa Penida belum begitu intensif karena aktivitas penambangan yang dilakukan penambang dengan intensitas kurang dari hampir mencapai 50%. Aktivitas penambangan yang tergolong aktif hanya dijumpai pada titik penambangan 1 (62,5%), titik 3 (100%) di Desa Suana dan pada titik 5 (75%) di Desa Kutampi. Berkenaan dengan itu, berarti hampir sebagian penambang tidak melakukan penambangan secara beruntun pada saat musim hujan, selain melakukan penambangan para penambang juga harus mempersiapkan lahan pertaniannya.
Hasil observasi yang dilakukan pada saat penelitian, penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida merupakan penambangan terbuka dengan terlebih dahulu menghilangkan vegetasi dan mengupas tanah yang menutup deposit batu kapur. Sistem penambangan terbuka yang diterapkan di daerah penelitian adalah tipe teras dan tipe cekungan. Kegiatan penambangan selalu memerlukan perlengkapan khusus baik alat mekanis maupun sederhana. Sebelum melakukan penambangan para penambang terdahulu mempersiapkan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penambangan. Kegiatan penambangan di Kecamatan Nusa Penida tidak menggunakan alat-alat mekanis atau alat berat untuk menggalinya, hanya menggunakan alat sederhana seperti : 1). Linggis ; Untuk menggali batu kapur, 2). Palu ; Untuk memecahkan batu kapur menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, 3). Sekop ; Untuk memindahkan batu kapur ke dalam alat angkut, 4). Betel ; Memiliki fungsi yang sama dengan palu yaitu untuk memecahkan batu kapur menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, 5). Gerobak ;
Merupakan alat angkut tradisional yang digunakan untuk mengangkut tanah penutup batu kapur ke sekitar lokasi tambang yang dianggap aman.
Penambang hanya mengguakan peralatan sederhana dalam melakukan penambangan. Kegiatan penambangan itu 100% menggunakan peralatan yang sederhana. Hal ini dilakukan untuk mengefisienkan biaya yang dikeluarkan para penambang. Walaupun demikian dampak yang dihasilkan dari penggunaan alat sederhana itu berbeda dengan menggunakan alat-alat mekanis lainnya, dampak yang dihasilkan dari alat sederhana tersebut sama-sama merusak lingkungan.
Dalam kegiatan penambangan sangat dipengaruhi oleh kepemilikan lokasi penggalian, apakah milik sendiri/pribadi, nyewa ataupun milik umum. Lokasi penggalian milik umum yang dimaksud adalah penambang melakukan penambangan batu kapur di lahan atau lokasi yang merupakan milik desa setempat, kemudian penambang membagi hasil yang telah didapat dengan desa yang bersangkutan. Sebagian besar (72,2%) kepemilikan lokasi penggalian batu kapur itu merupakan ladang atau tegalan milik sendiri. Hal tersebut dijumpai hampir di semua titik penambangan kecuali pada titik 2 (25%) di Desa Suana serta titik 7 (57,1%) di Desa Bunga Mekar. Kepemilikan lokasi penggalian yang terendah dijumpai pada titik penambangan 2 di Desa Suana. Pada titik 2 di Desa Suana ini lokasi penggalian justru merupakan sebagian besar milik umum (50%).
Berdasarkan apa yang dikemukan menunjukan bahwa kepemilikan lokasi penggalian secara umum di Kecamatan Nusa Penida merupakan milik sendiri. Dalam proses penambangan batu kapur, setelah digali langsung dapat digunakan sesuai kepentingan konsumen pada setiap titik penambangan. Lokasi penggalian milik umum yang dimaksud adalah penambang melakukan penambangan batu kapur di lahan atau lokasi yang merupakan milik desa setempat, kemudian penambang membagi hasil yang telah didapat dengan desa yang bersangkutan.
Hasil penelitian yang dilakukan di lokasi penambangan, alat angkut yang digunakan berupa truck dan pickup. Fungsinya untuk memindahkan tanah penutup ke sekitar lokasi penambangan dan untuk memindahkan hasil penambangan batu kapur. Dalam kegiatan penambangan sangat dipengaruhi oleh alat angkut yang digunakan, apakah menggunakan truck ataupun pickup. Sebagian besar (68,5%) penambang menggunakan pickup sebagai alat angkut yang digunakan untuk mengangkut hasil
penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida. Hal tersebut dijumpai hampir di semua titik penambangan, kecuali pada titik penambangan 7 (85,7%) di Desa Bunga Mekar. Pada titik 7 di Desa Bunga Mekar alat angkut yang digunakan berupa truck untuk mengangkut hasil panambangan batu kapur. Berdasarkan pengangkutan tersebut konsekuensinya jalan-jalan di sekitar lokasi tambang cepat mengalami kerusakan. Secara keseluruhan penambang pengangkut hasil penambangan batu kapur dilakukan menggunakan truk/pickup apabila kegiatan penambangan sudah selesai dan ada pesanan dari konsumen.
Dalam pemanfaatannya batu kapur dapat digunakan sebagai batako dan bubuk kapur untuk melapisi dinding. Batu kapur yang sudah diproses dan diolah hingga memiliki niai ekonomis/nilai jual yang bisa dipasarkan di desa-desa lain di Kecamatan Nusa Penida. Pada kegiatan penambangan batu kapur yang dilakukan di Kecamatan Nusa Penida tidak selalu berbanding lurus dengan nilai ekonomisnya. Nilai ekonomis dari penjualan hasil penambangan batu kapur yang dilakukan tergolong sulit untuk dihitung karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak menentu. Sebagian besar (57,4%) nilai ekonomis dari hasil kegiatan penambangan di Kecamatan Nusa Penida dijual berupa batako. Hal tersebut dijumpai hampir di semua titik penambangan di Kecamatan Nusa Penida, kecuali pada titik penambangan 1 dan 3 di Desa Suana serta titik 5 di Desa Kutampi. Pada titik penambangan 1 dan 3 di Desa Suana serta titik 5 di Desa Kutampi penambang menjual hasil penambangan berupa bubuk kapur.
Berdasarkan apa yang dikemukan menunjukan bahwa nilai ekonomis dari hasil penambangan batu kapur secara umum di Kecamatan Nusa Penida menjual hasil penambangan tersebut berupa batako. Hal tersebut dijumpai padada titik 2 (62,5) di Desa Suana, titik 4 (71,4%) dan 6 (75%) di Desa Kutampi serta titik 7 (85,7%) di Desa Bunga Mekar.
Pemasaran batu kapur hampir 60% dilakukan apabila ada pesanan dari konsumen di Kecamatan Nusa Penida, hal tersebut diketahui menurut penambang hampir di setiap titik penambangan pada saat penelitian. Konsumen yang langsung datang ke lokasi penambangan untuk membeli batu kapur relatif sedikit (40%), padahal harga batu kapur di lokasi penambangan lebih murah dibandingkan konsumen meminta untuk mengantarkan ke tempat tinggalnya. Transportasi pengiriman batu kapur
tergolong cukup lancar karena tersedianya alat angkut yang memadai serta tingkat aksesibilitas yang cukup di daerah penelitian walaupun luas jalan yang kecil.
Batu kapur hasil penambangan batu kapur hanya dijual di desa-desa yang ada di Kecamatan Nusa Penida, tidak sampai keluar kecamatan. Batu kapur yang sudah diproses yang sering disebut dengan bubuk kapur dapat digunakan untuk melapisi dinding. Selain dijual hasil dari penambangan yang berupa bubuk kapur juga dimanfaatkan sabagai batako oleh penambang.
Hasil penelitian pada 8 titik penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida menunjukan bahwa kegiatan penambangan batu kapur pada setiap titik penambangan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan abiotik yang didalamnya menyangkut terhadap dampak kondisi morfologi.
Hasil observasi yang dilakukan penambangan batu kapur yang dilakukan di Kecamatan Nusa Penida dengan menggunakan sistem penambangan terbuka pada delapan (8) lokasi penelitian memiliki kedalaman penggalian rata-rata kedalaman penggalian batu kapur di Kecamatan Nusa Penida 4,25 meter (m) dan rata-rata luas penggalian batu kapur 4,1 meter persegi (m2). Pada titik penambangan 2 di Desa Suana terdapat lubang bekas tambang yang mencapai 8 m dan luas 3 m2. Selain itu, di Desa kutampi pada titik penambangan 6 terdapat lubang bekas tambang yang mencapai kedalaman 5 m dan luas 6 m2, sehingga terdapat gorong-gorong pada bukit kapur pada titik penambangan tersebut.
Sistem penambangan terbuka yang diterapkan di daerah penelitian yang berupa tipe teras dan tipe cekungan membuat lahan pasca tambang terlihat berlubang-lubang dan membentuk gorong-gorong yang besar. Sistem penambangan tipe teras yang diterapkan menyisakan lahan pasca tambang berupa tebing-tebing batu kapur yang memiliki kedalaman rata-rata 4 meter dan luas rata-rata 4 meter. Penambangan pada titik penambangan yang lain berupa tipe cekungan menyisakan lahan pasca tambang berupa lubang-lubang yang menganga. Kegiatan penambangan batu kapur yang dilakukan di Kecamatan Nusa Penida pada 8 titik penambangan rata-rata melakukan penambangan tanah penutupnya diletakkan di sekitar areal tambang membentuk gundukan tanah di setiap titik penambangan. Dengan dikupasnya tanah penutup, struktur dan tekstur tanah akan mengalami kerusakan. Rusaknya struktur dan tekstur tanah menyebabkan tanah tidak mampu untuk menyimpan dan meresap air pada musim
hujan. Sebaliknya tanah menjadi padat dan keras pada musim kemarau sehingga sangat sulit untuk diolah yang secara langsung berdampak bagi pemilik lahan dalam mengolah lahannya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan batu kapur 3 desa di Kecamatan Nusa Penida pada beberapa aspek lingkungan abiotik, maka diperlukan upaya masyarakat untuk memperbaiki kerusakan lingkungan abiotik yang ditimbulkan. Usaha penanggulangan kerusakan lingkungan hidup di daratan meliputi perbaikan di daerah penambangan, reklamasi, pengendalian erosi dan berbagai gangguan lainnya. Sebagian besar (70,4%) penambang di Kecamatan Nusa Penida kadang-kadang melakukan dalam perbaikan pada lubang bekas tambang. Hal tersebut dijumpai hampir di semua titik penambangan, kecuali pada titik penambangan 6 di Desa Kutampi. Pada titik penambangan 6 di Desa Kutampi ini sebagian besar (50%) tidak pernah melakukan reklamasi.
Berdasarkan apa yang dikemukan secara umum menunjukan bahwa usaha perbaikan dampak penambangan di Kecamatan Nusa Penida belum begitu dilakukan karena upaya reklamasi dari kegiatan penambangan batu kapur kurang dari 60%. Kegiatan reklamasi sudah dilakukan tetapi belum maksimal, masyarakat dalam hal ini adalah penambang hanya terkadang melakukan penimbunan lubang bekas tambang dan hanya menggunakan tanah bekas galian tanpa ada usaha untuk mendatangkan dari tempat lain. Kendala utama yang dihadapi masyarakat adalah biaya penimbunan lahan yang banyak mengingat lahan yang ditambang cukup luas. Masyarakat hanya menggunakan tanah galian lubang untuk menimbun tanpa ada usaha mendatangkan dari tempat lain, dengan demikian perbukitan kapur yang identik dengan lahannya yang gersang.
Secara teoritis dalam karakteristik kegiatan panambangan batu kapur merupakan industri ekstraktif adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan yang terdapat di dalam atau di permukaan bumi maupun di bawah permukaan air laut yang akan digunakan untuk berbagai kegiatan industri lainnya. Sukandarrumidi (1997: 84) secara umum menjelaskan karakteristik kegiatan penambangan yang baik meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan pemasaran. Penyelidikan umum, eksplorasi, dan pemasaran belum menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang berarti, tetapi eksploitasi,
pengolahan/pemurnian, dan pengangkutan dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang cukup besar (Katili,1983 : 135).
Berdasarkan hasil penelitian pada 8 titik penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida adapun beberapa indikator yang dijadikan tolak ukur adalah : a). Intensitas Penambangan, b). Perlengkapan Alat yang Digunakan, c). Kepemilikan lokasi Penggalian, d). Alat angkut yang digunakan, e). Nilai Ekonomis, f). Pemasaran. Evaluasi hasil penelitian terhadap karakteristik kegiatan penambangan batu kapur menunjukkan :
Karakteristik kegiatan penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida dapat dilihat dari dua sisi, yaitu positif dan negatif. Sisi positif dari kegiatan penambangan yang dilakukan di Kecamatan Nusa Penida sebagian besar belum dilakukan setiap hari, perlengkapan alat yang digunakan juga hampir semua penambang menggunakan alat sederhana untuk memperoleh batu kapur, alat angkut yang digunakan sebagian besar menggunakan pickup, dan penambangan itu dilakukan di lahan milik sendiri. Sedangkan sisi negatif dari kegiatan penambangan yang dilakukan belum dapat meningkatkan nilai ekonomi penduduk secara optimal dan pemasaran yang masih rendah walaupun transportsai sudah memadai.
Kegiatan penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida menunjukkan bahwa intensitas penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida yang tersebar pada setiap titik penambangan termasuk tergolong belum intensif dilakukan. Hal itu disebabkan intensitas penambangan masih kurang dari 5 hari dalam seminggu. Selain rendahnya nilai jual hasil penambangan batu kapur, intensitas penambangan yang juga kadang-kadang dilakukan pada musim hujan disela-sela untuk mempersiapkan lahan pertaniannya.
Kegiatan penambangan batu kapur akan membawa dampak negatif terhadap keadaan morfologi, tanah, udara, dan air. Sering atau tidaknya kegiatan penambangan yang dilakukan akan mempengaruhi tinggi atau rendahnya dampak yang ditimbulkan. Semakin sering kegiatan tersebut dilakukan maka kemungkinan membawa dampak yang tinggi terhadap kondisi lingkungan fisik akan semakin besar. Namun sebaliknya semakin jarang kegiatan penambangan dilakukan maka kemungkinan membawa dampak yang tinggi terhadap kondisi lingkungan fisik akan semakin kecil.
Hasil penelitian pada 8 titik penambangan menunjukkan bahwa penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida berdampak terhadap kondisi kondisi morfologi. Penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida dengan menggunakan sistem penambangan terbuka tipe teras dan tipe cekungan membuat kondisi morfologi daerah tambang terlihat curam dan membentuk lubang yang besar. Dengan dikupasnya tanah penutup, struktur dan tekstur tanah akan mengalami kerusakan serta tanah yang ada di daerah penambangan sehingga merusak lingkungan abiotik.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak lingkungan abiotik yang telah ditimbulkan akibat penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida tergolong belum masih rendah, hal tersebut terlihat pada setiap titik penambangan tedapat lubang bekas tambang rata-rata hanya 4 meter dan luas 4 m2, sedangkan aturan yang ada kedalaman penggalian penabangan maksimal 10 meter. Penambangan yang dilakukan di Kecamatan Nusa Penida walaupun menyisakan lubang bekas tambang yang menganga, tetapi belum terlalu mengahawatirkan dan belum melanggar aturan yang ada. Kegiatan penambangan sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan, walaupun pernyataan ini tidak selamanya benar, patut diakui bahwa banyak sekali kegiatan pertambangan yang dapat menimbulkan kerusakan di tempat penambangan. Dampak penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida terhadap kondisi morfologi menunjukkan bahwa kegiatan penambangan batu kapur yang tergolong masih rendah. Kegiatan penambangan batu kapur akan menyebabkan banyak lubang atau cekungan yang membuat permukaan tanah menjadi tidak rata. Kegiatan penambangan maka vegetasi penutup tanah akan dihilangkan, hal ini akan berpengaruh pada keadaan morfologi daerah tersebut. Selain itu, keadaan udara juga menjadi kotor hal itu disebabkan debu tambang yang dihasilkan dari kegiatan penambangan tersebut yang nantinya akan mengakibatkan gangguan pada para penambang dan masyarakat sekitar penambangan, seperti timbulnya beberapa jenis penyakit atau gangguan paru-paru (Supardi,1984:52).
Usaha perbaikan lingkungan di dalam pertambangan yaitu : (1) perbaikan kembali kondisi lapisan atas tanah sedemikian rupa sehingga tidak mudah tererosi, misalnya dengan penggarapan secara fisik serta penanaman tumbuhan, (2) penanaman kembali lahan yang habis ditambang, dilakukan dengan cara mengembalikan tanah penutup atau memindahkan tanah penutup lainnya yang sedang atau harus dikupas ke
lahan yang telah selesai yang telah dilakukan tidak diikuti dengan usaha perbaikan tanah, udara, dan kondisi air (Katili,1983 : 149).
Hasil penelitian pada 8 titik penambangan menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan masyarakat dalam usaha perbaikan dampak penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida sudah dilaksanakan tetapi masih jauh dari harapan. Hal-hal yang dilaksanakan adalah : 1). Reklamasi/penimbunan lubang bekas tambang, 2). Perbaikan kondisi tanah. Usaha perbaikan dampak penambangan di Kecamatan Nusa Penida masih tergolong rendah, karena upaya reklamasi dari kegiatan penambangan hanya sebagian besar hanya terkadang dilakukan. Penambang hanya kadang-kadang dalam melakukan penimbunan pada lubang bekas tambang, dan hanya menggunakan tanah bekas galian tanpa ada usaha untuk mendatangkan dari tempat lain., sedangkan lahan yang ditambang cukup luas. Setelah selesai melakukan penambangan tanah penutup tidak segera diolah atau dikembalikan, sehingga menjadi pencemaran pada tanah sekitar areal tambang.
Tinggi atau rendahnya dampak penambangan batu kapur umumnya akan mempengaruhi usaha perbaikan kondisi lingkungan abiotik. Usaha perbaikan kondisi morfologi sebagian besar penambang batu kapur di Kecamatan Nusa Penida kurang melakukannya. Kurangnya usaha perbaikan yang dilakukan dapat dilihat dari banyaknya lubang bekas tambang seperti teras-teras bukit yang gersang dan terlantar serta lubang bekas tambang yang menganga di Kecamatan Nusa Penida. Penimbunan lubang bekas tambang hanya terkadang dilakukan dan hanya menggunakan tanah bekas galian tanpa ada usaha untuk mendatangkan dari tempat lain. Kendala utama yang dihadapi masyarakat adalah biaya penimbunan lahan yang banyak mengingat lahan yang ditambang cukup luas.
Pada satu sisi dampak penambangan batu kapur terhadap lingkungan abiotik cukup dirasakan, tetapi tidak diikuti dengan usaha untuk memperbaiki keadaannya. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap kondisi lingkungan abiotik karena orientasi masyarakat setempat adalah pertambangan yang mementingkan hasil dari penambangan, tetapi tidak menyisihkan dana yang untuk memulihkan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan peambangan yang dilakukan.

Dan Hasil penelitian menunjukan berbagai macam variasi dari komposisi bahan agar
didapatkan nilai kalor yang paling tinggi dari berbagai macam variasi komposisi susunan
bahan tersebut. Variasi berat masing-masing sampel adalah seperti pada Tabel 2 dan 3.
Sisa pembakaran bahan bakar pada pabrik gula berupa partikel-partikel debu
yang sangat banyak sekali dikhawatirkan akan berpengaruh membawa dampak negatif
bagi warga masyarakat sekitar. Apabila nilai kalor briket bioarang ini memenuhi standar
sebagai bahan bakar alternatif, masyarakat dapat menggunakan briket bioarang ini untuk
kebutuhan sehari-hari. Sisa pembakaran bahan bakar pada saat proses pencampuran
dengan limbah jarak dan gliserin, dapat membentuk tekstur yang padat, sehingga setelah
dicetak menjadi bongkahan briket tidak mudah rusak.
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium di Undip Semarang, nilai kalor ratarata
variasi 50% SBB - 50% LJ dihasilkan 3383 kkal/kg. Pada variasi 60% SBB – 40%
dihasilkan nilai kalor rata-rata 2971 kkal/kg, variasi 70% SBB – 30% LJ dihasilkan nilai
kalor rata-rata 2858 kkal/kg, variasi 80 % SBB – 20% LJ dihasilkan 22728 kkal/kg dan
variasi 90% SBB – 10% LJ dihasilkan nilai kalor rata-rata 2641 kkal/kg.


SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik kesimupaln sebagai berikut : 1). Penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida dilakukan dilahan milik sendiri dengan intensitas penambangan yang tidak sepenuhnya dilakukan setiap hari, dan hanya menggunakan peralatan yang sederhana. Namun demikian, tidak diimbangi dengan nilai ekonomis dan pemasarannya walaupun sudang didukung transportasi yang memadai, 2). Dampak penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida terhadap kondisi morfologi tergolong masih rendah. Dampak penambangan terhadap lingkungan abiotik dikatakan masih tergolong rendah disebabkan belum melebihi batas maksimal aturan yang ada yaitu kedalamannya kurang 10 meter. Sistem penambangan batu kapur tipe teras yang diterapkan menyisakan lahan pasca tambang berupa lubang-lubang yang hanya memiliki kedalaman 4 m dan luas rata-rata 4 m2, 3). Upaya perbaikan yang dilakukan masyarakat dalam usaha perbaikan dampak penambangan batu kapur di Kecamatan Nusa Penida hanya sebagian kecil penambang yang melakukan usaha perbaikan dampak akibat penambangan batu kapur. Usaha perbaikan kerusakan lingkungan abiotik pada masing-masing titik penambangan disebabkan kesadaran penambang yang berbeda-beda. Secara keseluruhan, upaya perbaikan kerusakan lingkungan abiotik masih tergolong kurang karena orientasi masyarakat setempat adalah pertambangan yang mementingkan hasil dari penambangan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Katili. 1983. Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Nasional. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Sukandarrumidi. 1997. Bahan Galian Industri. Yogyakarta : UGM University Press.
Supardi. 1984. Lingkungan Hidup Dan Kelestariannya. Bandung: Alumni.
Suparni, Niniek. 1992. Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2011. “Berita Kabupaten “ http://www.balipost.co.id. di akses pada tanggal 20 agustus 2012

George. T, Austin, 1996, Industri Proses Kimia. Jakarta, Percetakan Erlangga.
Hinrichs, Roger, 2006, Energy : Its Use and the Environment, Amerika, Thomson.
Indriastuti. D.S, Mei, 2006. Analisa Nilai Kalor Briket Bioarang dari Campuran Sampah
Organik, Serbuk Gergaji dan Campuran Sampah Organik, Sekam Padi dalam
3upaya Mendapatkan Bahan Bakar Alternatif. Semarang, Politeknik Negeri
Semarang.
Kadir dan Abdul, 1995, Energi : Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi
Ekonomi, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Pudjanarsa dan Nurshuhud, 2006, Mesin Konversi Energi, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Rahman Hakim dan Arief, 2007, Pengembangan Energi Alternatif: Pelajaran Dari Kuba.
Sastrawijaya, A.T, 2000, Pencemaran Lingkungan. Jakarta, Rineka Cipta.
Seran, Bioarang Untuk Memasak, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Widayati dan Woro, 2001, Analisis Nilai Kalor Briket Arang Tempurung Kelapa sebagai
Sumber Bahan Bakar Alternatif Semarang, Politeknik Negeri Semarang.
Results twisting

sumber jurnal : http://puspitadewiwidayat.blogspot.co.id/

Rabu, 21 Oktober 2015

Ringkasan Jurnal Kimia

Latar Belakang :

Pengaruh Temperatur Terhadap Reaksi Fosfonat dalam Inhibitor Kerak
pada Sumur Minyak


Kerak (scale) merupakan masalah yang cukup kompleks dan selalu terjadi diladang-ladang
minyak. Kerak didefinisikan sebagai suatu deposit dari senyawa-senyawa anorganik yang
terendapkan dan membentuk timbunan kristal pada permukaan suatu subtansi (Kemmer, 1979).
Kerak yang terbentuk pada pipa-pipa akan memperkecil diameter dan menghambat aliran
fluida pada sistem pipa tersebut. Terganggunya aliran fluida menyebabkan suhu semakin naik
dan tekanan semakin tinggi maka kemungkinan pipa akan pecah dan rusak.

Salah satu cara untuk mencegah terbentuknya kerak diladang-ladang minyak
adalah dengan menginjeksikan bahan-bahan kimia pencegah kerak (scale inhibitor) ke dalam
air formasi. Prinsip kerja dari scale inhibitor yaitu pembentukan senyawa kompleks (chelat)
antara scale inhibitor dengan unsur-unsur pembentuk kerak.
Senyawa kompleks yang terbentuk larut dalam air sehingga menutup
kemungkinan pertumbuhan kristal yang besar. Di samping itu dapat mencegah kristal kerak untuk
melekat pada permukaan pipa.

Pada umumnya scale inhibitor yang digunakan di ladang-ladang minyak dibagi atas
dua tipe yaitu scale inhibitor anorganik dan scale inhibitor organik. Senyawa anorganik fosfat yang
umum digunakan sebagai inhibitor adalah kondesat fosfat dan dehidrat fosfat. Anorganik
fosfat banyak digunakan sebagai scale inhibitor sebelum berkembangnya fosfonat, fosfat ester
dan polimer.

Hasil dan Pembahasan :

Penentuan Fosfonat dalam Scale Inhibitor Jet-Cote 592 dan Servo-UCA 301 merupakan
scale inhibitor fosfonat yang berwujut cair. Hasil analisa fosfat dan fosfat total dari 0,05 mL scale
inhihitor dalam aquades dan air formasi yang tidak diinjeksi dengan bahan kimia .
Hasil di atas menunjukkan bahwa sebelum scale inhibitor diinjeksikan ke dalam air formasi
(sumur minyak) telah ada 8493 ppm dalam Jet Cote-592 dan 5605 ppm dalam Servo UCA-301
fosfat. Fosfat ini mungkin berasal dari fosfonat yang telah berubah menjadi fosfat. Dalam air
formasi ternyata kandungan fosfatnya lebih tinggi dibanding dalam aquades, yang berarti di
dalam air formasi juga terdapat fosfat sehingga scale inhibitor yang diencerkan dalam air
formasi kandungan fosfat lebih tinggi dibandingdalam aquades.
Kandungan fosfonat yang masih aktif diketahui dengan menentukan kandungan fosfat
total yang dikurangi dengan fosfat yang ada di dalamnya. Dalam setiap 0.05 mL Jet Cote-592
terdapat rata-rata 107373 ppm fosfonat dan 92969 ppm dalam Servo UCA-301. Angka
tersebut menunjukkan bahwa kandungan fosfonat Jet-Cote 592 sedikit lebih tinggi
dibanding Servo-UCA 301.

Pengaruh Temperatur Terhadap Perubahan
Fosfonat

Pengaruh temperatur terhadap perubahan fosfonat menjadi fosfa, fosfonat yang berubah menjadi fosfat semakin banyak dengan naiknya temperatur. Pada temperatur rendah perubahannya kecil, tetapi semakin naik temperatur semakin banyak fosfonat yang berubah menjadi fosfat.

Hasil  menunjukkan bahwa sebelum scale inhibitor diinjeksikan ke dalam
air formasi (sumur minyak) telah ada 8493 ppm dalam Jet Cote-592 dan 5605 ppm dalam Servo
UCA-301 fosfat. Fosfat ini mungkin berasal dari fosfonat yang telah berubah menjadi fosfat.
Dalam air formasi ternyata kandungan fosfatnya lebih tinggi dibanding dalam aquades, yang
berarti di dalam air formasi juga terdapat fosfat sehingga scale inhibitor yang diencerkan dalam banding dalam aquades. Kandungan fosfonat yang masih aktifdiketahui dengan menentukan kandungan fosfat total yang dikurangi dengan fosfat yang ada di dalamnya. Dalam setiap 0.05 mL Jet Cote-592terdapat rata-rata 107373 ppm fosfonat dan 92969 ppm dalam Servo UCA-301. Angka
tersebut menunjukkan bahwa kandungan fosfonat Jet-Cote 592 sedikit lebih tinggi dibanding Servo-UCA 301.

Scale Inhibitor pada Sumur Minyak
Untuk mengetahui kandungan fosfonat dalam sumur minyak, dilakukan analisis fosfat dan
fosfat total yang terdapat dalam air formasi yang telah diinjeksi dengan scale inhibitor.
Kemungkinan besar air formasi juga mengandung fosfat maka dilakukan analisis
fosfat pada air formasi dari sumur yang tidak diinjeksi dengan scale inhibitor. Air formasi
yang dipilih letaknya berdekatan dengan sumur minyak yang diinjeksi dengan scale inhibitor.
Hasil analisa kandungan fosfat dan fosfat total pada sumur yang diinjeksi dengan scale inhibitor
dan fosfat pada sumur yang tidak diinjeksi dengan bahan kimia .

Peluang Penelitian Dan Selanjutnya :

Temperatur mempengaruhi perubahan fosfonat menjadi fosfat dimana perubahannya semakin
besar dengan semakin naiknya temperatur. Scale inhibitor Servo UCA-301 dan Jet Cote-592 ,
lebih baik digunakan pada temperatur dibawah 200oF. Perubahan fosfonat yang terjadi di dalam air
formasi sumur minyak Bekasap Selatan dan Pematang sebesar 5,99% dan 8,36% untuk Servo-
UCA 301serta 6,13% dan 8,24% untuk Jet-Cote592.